BAB 1. PENDAHULUAN
A . LATAR BELAKANG
Berdasarkan keputusan MENDAGRI dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang
Pedoman Organisasi Dan Tata kerja Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasar
pengelolahan semua potensi daerah yang ada dan di manfaatkan semaksimal mungkin
oleh daerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah pusat.Kesempatan ini
sangat menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang sangat
besar untuk dapat mengelolah daerah sendiri secara mandiri ,dengan peraturan
pemerintah yang dulunya mengalokasikan hasil daerah 75% untuk pusat dan 25%
untuk dikembalikan ke daerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah
tingkat II sulit untuk mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi
maupun budaya dan pariwisata.
B . TUJUAN PENULISAN
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingkat II
mampu mengelola daerah nya sendiri.Untuk kepentingan rakyat dan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara sosial ekonomi yang merata.
C . RUMUSAN MASALAH
Makalah ini di buat dengan rumusan masalah:
1. Apa
itu Otonomi Daerah?
2. Apa
dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah?
3. Apa
salah satu yang paling berperan di dalam Otonomi Daerah?
4. Apa
dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?
BAB
II PEMBAHASAN MASALAH
A.PENGERTIAN OTONOMI
DAERAH
Otonomi berasal dari 2 kata yaitu , auto berarti
sendiri,nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi
dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata
ekonomi dengan kata daerah,maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri”
mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau
menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh
Pemerintahan Daerah.Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan dengan otonomi
daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintah
daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
2. Penyelenggaran
urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya
dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945
3. Pemerintah
Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota,perangkat daerah seperti Lurah,Camat
serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
4. DPRD
adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil
rakyat yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Otonomi
daerah adalah wewenang,hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan
mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan
masyarakat yang berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Daerah
otonom adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas
wilayah dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya
berdasarkan prakarsa sendiri namum sesuai dengan sistem NKRI
7. Di
dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden
Republik Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Dan masih banyak lagi pengertian-pengertian dari pendapat orang-orang tentang
otonomi daerah.
B . DASAR HUKUM DAN LANDASAN TEORI OTONOMI
DAERAH
1
. DASAR HUKUM
Tidak
hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita bahas.Namun ada
dasar-dasar yang bisa menjadi landasan.Ada beberapa peraturan dasar tentang
pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2. Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber
keuangan negara.
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah,saya juga
menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi
daerah harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang
berada di wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di
miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.
2
. LANDASAN TEORI
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam
otonomi daerah .
1.Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang saya tuliskan di
sini.Asas-asas tersebut sebagai berikut:
· Asas tertib penyelenggara negara
· Asas Kepentingan umum
· Asas Kepastian Hukum
· Asas keterbukaan
· Asas Profesionalitas
· Asas efisiensi
· Asas proporsionalitas
· Asas efektifitas
· Asas akuntabilitas
2.Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah
tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka
muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi
juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya
adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat
dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang
dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi
antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan
nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk
memenuhi kebutuhan lokal.
3.Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah
persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum
tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada
pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari
perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak
tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam
wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang
akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah
selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi
daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu
diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di
Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya
dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses
satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain
proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah
argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.
C . PEMERAN PENTING
DALAM OTONOMI DAERAH
APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah)
Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan membahas
sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan
otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan yang merupakan salah
satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah.
Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat
penting, karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya
dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan
pembangunan dan keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria
untukmengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam
membiayai kegiatan pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada
pemerintah pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah
harus menjadi bagian yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan
pemerintah daerah. Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak
ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam
menghadapi otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai
estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau
metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai
berikut ,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan
dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan
aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu
rencana finansial yang menyatakan :
1)Berapa biaya atas
rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2)Berapa banyak dan
bagaimana cara uang untuk mendanai rencana tersebut(pendapatan).
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara disebutkan bahwa
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP No.58 Tahun
2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana
keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
ekonomi. Inisiatif
peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi
diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara
efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal
D.DAMPAK OTONOMI
DAERAH
A.Dampak Positif
Dampak
positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah
daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di
daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada
yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
B.Dampak
Negatif
Ø
Dalam Perpekstif
Prilaku Sosial
Dengan lahirnya UU Otonomi
Daerah telah membawa kemajuan berarti yang signifikan
terutama dalam mengggesa pembangunan di daerah. Hal ini juga berdampak pada
sektor lainnya kerena daerah oleh kepala daerha diberikan wewenang
penuh dalam mengurus daerahnya masing-masing. Namun seperti yang diulas
sebelumnya bahwa hal ini juga telah berakibat negatif terutama dalam tigkah
laku sosial.
Otonomi
di Riau layaknya daerah lain telah berjalan, namun seperti daerah lain juga
nilai-nilai sosial selalu mengganjal. Riau salah satu daerah penyumbang PAD
yang besar untuk negara yakni dari migas atau minyak bumi, sehingga Riau pun
mendapatkan APBD yang lumayan menggiurkan dalam rangka percepatan pembangunan.
Di
Riau kentara kali keganjilan-keganjilan perilaku sosial akibat diberlakukannya UU
Otonomi daerah, seperti fanatisme kemelayuan yang kental,
sehingga suku melayu terlalu dianggap raja didaerah ini. akibatnya suku-suku
lain seperti dikucilkan. Akibat yang patal lagi kantong-kantong
korupsi semakin menganga menjalar bahkan mengakar. Hal ini terlihat
pula pada bukti nyata bahwa sudah banyak yang menjadi tersangka
korupsi atas penyalahgunaan anggaran dan kebijakan oleh perintah
setempat.
Penyebab
utama dari munculnya perilaku sosial dari otonomi daerah terlihat
pada gejala diantaranya
1. Kurangnya
pemahamn tentang konsep UU otonomi daerah
2. Tingkat
pendidikan pejabat dan pemerintah
3. Tingkat
pemahamn masyarakat awam
4.
Saratnya pemahaman tentang issue daerah dan fanatisme
5.
Fluralisme dan bentuk masyarakat yang heterogen
6.
Tingkat sosial (etnis) dan latar belakang pendidikan serta ekonomi
Secara
umum dapat dilihat pada perilaku sosial yang selalu terjadi di derah saat ini
terutama di Riau. Identitas daerah akan selalu muncul dalam setiap perkembangan
masyarakat di mana ketika masyarakat tersebut merasa sebagai bagian dari
komunitas yang memiliki rasa tanggung jawab kepada apa yang telah menjadi
bagian dari daerah mereka di mana mereka tinggal atau dilahirkan secara
turun-temurun di suatu daerah. Identitas seperti apa yang dikatakan Retheran
dan Phinney dalam Agustino (2007:65), identitas adalah rasa memiliki dari
seseorang kepada sebuah kelompok tertentu, dan bagian dari pemikiran, persepsi,
perasaan dan sikap seseorang yang merupakan kewajiban bagi keanggotaan kelompok
etnis. Dapat di lihat, adanya wacana identitas daerah dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah ketika terjadinya pengisian jabatan dalam Birokrasi,
penerimaan Pegawai dan Pilkada Langsung, hal tersebut secara langsung telah
memunculkan isu anak daerah maupun masyarakat atau anak asli daerah. Dari
hal-hal tersebutlah telah membuat terjadinya penguatan identitas kedaerahan
terutama identitas etnis yang muncul ketika adanya penempatan sumberdaya maupun
perebutan sumberdaya dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama daerah yang
mesyarakatnya majemuk.
Kemudian,
Gidens (1991), menjelaskan bahwa identitas terbangun oleh kemampuan
melanggengkan narasi tentang diri, sehingga terbangun suatu perasaan terus
menerus tentang kontinuitas biografis. Untuk itu dapat dilihat bahwa identitas
merupakan bagian dari simbol jati diri setiap individu maupun kelompok.Dari
teori tersebut peran identitas bisa juga merupakan bagian tindakan yang
berhubungan dengan tindakan politis dalam mengedepankan kepentingan-kepentingan
individu maupun kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki
kesamaan etnis, suku, ras dan agama serta memiliki kesamaan karakteristik atau
kedaerahan.
Dari
itulah bisa dikatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah selama beberapa tahun
terakhir ini telah tergambar jelas bahwa otonomi daerah memunculkan identitas
daerah dalam bentuk fanatisme etnis.Dari munculnya berbagai macam identitas
dalam berbagai fenomena otonomi daerah secara langsung telah terciptnya
kemajemukan yang secara alami terbentuk dan terjadi dalam masyarakat, bahkan
secara langsung telah membentuk karaktersitik masyarakat di daerah yang
kemudian menjadi pembeda diantara satu dengan yang lainnya.
Dalam ranah lokal gambaran kehidupan sosial-budaya senantiasa akan berimplikasi terhadap praktik politik dan demokratisasi di daerah yang tak bisa lepas dari berbagai praktik pelaksanaan pemerintahan daerah seperti yang disebutkan diatas tadi yakni ketika adanya penempatan sumber daya atau perebutan sumber daya seperti penempatan jabatan Birokrasi, penerimaan pegawai dan yang paling menonjol adalah ketika pelaksanaan Pilkada langsung. Oleh karena itu dapat dikatakan menguatnya identitas daerah karena adanya kompetisi atau perebutan berbagai sumber daya kekuasaan yang terjadi diantara idividu atau dalam kelompok.
Identitas daerah akan selalu muncul dalam kelompok maupun individu dengan menonjolkan perbedaan etnis karena warna kultur selalu melekat dalam ruang dan waktu di mana masyarakat itu berada, hal ini akan selalu melekat meskipun ada yang tinggal dalam satu kelompok maupun yang tinggal berbaur dengan kelompok lainnya. Ini menunjukan bahwa identitas etnis masih menjadi simbol dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dimana masyarakata itu berada. Menurut Ubed (2002:75), Etnisitas merupakan kategori-kategori yang diterapkan pada kelompok atau kumpulan orang, yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau kolektivitas. Ikatan-ikatan etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapan-kelengkapan primordial seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat, dan atau kepercayaan, yang dibebankan atas setiap anggota yang dilahirkan dalam kelompok tersebut.
Perbedaan akan selalu muncul sebagai akibat dari bentuk kultur yang berlainan. Untuk itulah apa yang terjadi dalam perkembangan otonomi daerah sekarang ini dengan adanya penguatan identitas kedaerahan hal tersebut tidak perlu dikawatirkan dan dipermasalahkan, selama praktik semacam ini dapat mendorong terlaksananya proses pembangunan dan demokrasi serta dapat mengakomodir kemajemukan dalam suatu daerah otonom. Agustino (2007:65) lebih arif menjelasakan, identitas yang dilihat secara arif dan bijaksana semestinya menempatkan perbedaan sebagai kekayaan bukan sebagai lawan identitasnya. Dari itulah tentang apa yang terjadi dalam pelaksanaan pemerintah Daerah sekarang ini, ketika adanya wacana maupun isu idintitas daerah yang muncul dalam pelaksanaannya merupakan satu hal yang lumrah dalam proses perkembangan daerah karena apa yang terjadi ketika munculnya atau menguatnya identitas kedaerahan merupakan satu hal yang lumrah karena hal tersebut merupakan bagian dari dampak pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk.
Dalam ranah lokal gambaran kehidupan sosial-budaya senantiasa akan berimplikasi terhadap praktik politik dan demokratisasi di daerah yang tak bisa lepas dari berbagai praktik pelaksanaan pemerintahan daerah seperti yang disebutkan diatas tadi yakni ketika adanya penempatan sumber daya atau perebutan sumber daya seperti penempatan jabatan Birokrasi, penerimaan pegawai dan yang paling menonjol adalah ketika pelaksanaan Pilkada langsung. Oleh karena itu dapat dikatakan menguatnya identitas daerah karena adanya kompetisi atau perebutan berbagai sumber daya kekuasaan yang terjadi diantara idividu atau dalam kelompok.
Identitas daerah akan selalu muncul dalam kelompok maupun individu dengan menonjolkan perbedaan etnis karena warna kultur selalu melekat dalam ruang dan waktu di mana masyarakat itu berada, hal ini akan selalu melekat meskipun ada yang tinggal dalam satu kelompok maupun yang tinggal berbaur dengan kelompok lainnya. Ini menunjukan bahwa identitas etnis masih menjadi simbol dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dimana masyarakata itu berada. Menurut Ubed (2002:75), Etnisitas merupakan kategori-kategori yang diterapkan pada kelompok atau kumpulan orang, yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan atau kolektivitas. Ikatan-ikatan etnis terwujud dalam kumpulan orang, kelengkapan-kelengkapan primordial seperti derajat, martabat, bahasa, adat istiadat, dan atau kepercayaan, yang dibebankan atas setiap anggota yang dilahirkan dalam kelompok tersebut.
Perbedaan akan selalu muncul sebagai akibat dari bentuk kultur yang berlainan. Untuk itulah apa yang terjadi dalam perkembangan otonomi daerah sekarang ini dengan adanya penguatan identitas kedaerahan hal tersebut tidak perlu dikawatirkan dan dipermasalahkan, selama praktik semacam ini dapat mendorong terlaksananya proses pembangunan dan demokrasi serta dapat mengakomodir kemajemukan dalam suatu daerah otonom. Agustino (2007:65) lebih arif menjelasakan, identitas yang dilihat secara arif dan bijaksana semestinya menempatkan perbedaan sebagai kekayaan bukan sebagai lawan identitasnya. Dari itulah tentang apa yang terjadi dalam pelaksanaan pemerintah Daerah sekarang ini, ketika adanya wacana maupun isu idintitas daerah yang muncul dalam pelaksanaannya merupakan satu hal yang lumrah dalam proses perkembangan daerah karena apa yang terjadi ketika munculnya atau menguatnya identitas kedaerahan merupakan satu hal yang lumrah karena hal tersebut merupakan bagian dari dampak pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk.
Upaya yang dapat dilakukan agar pemahan tentang otonomi
daerah di mengerti, antara lain tentunya
1. Konsep
Otomi daerah dipahami secara arif oleh segenap masyarakat
2.
Meningkatkan status pendidikan bagi pejabat dengan dibekali stara disiplin ilmu
yang
dapat dipertanggung jawabkan.
3. Masyarat
juga di giatkan dan diberikan tentang pemahaman pentingnya pendidikan
4. Kesampingkan
issu fanatisme daerah agar kebersamaan selalu dibangun
5.
Memandang fliuralisme sebagai salah satu asset kekayaan
daerah, kedepankan kebersamaan dan kesampingkan perbedaan
6.
Jangan memandang strata sosial dan mengecilakn serta membedakan tingkat
pendidikan, tetapi berikan pemahaman bahwa pendidikan itu sangat urgen.
Ø Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah
satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada
alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini
sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko
bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi,
perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah
harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai
pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif
daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan
jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit.
Dengan
skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan
retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan
karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah
kekuatan yang tidak applicable dalam
negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan
utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
Apakah
upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan
tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang
terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah
telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Mau bukti? Silakan Anda
hitung berapa item pajak dan retribusi yang musti Anda bayar selaku warga
daerah. Jika Anda teliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item. Saya sendiri
bisa menyebutnya satu persatu akan tetapi tentu tidak akan cukup untuk
memuatnya dalam tulisan singkat ini.
Beberapa
bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap
aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai
buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa
menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label
sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis
papan reklame berjalan. Lucu? Tentu saja. Karena tampaknya Pemerintah setempat
tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk
yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua,
jika perda tersebut diberlakukan (saya tidak begitu yakin apakah perda tersebut
jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan
dan pemungutan retribusi.
Dengan
dua contoh tersebut, saya hanya ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah
dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas
akal sehat. Di satu pihak saya sependapat bahwa sebagai warga negara kita harus
ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian
kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi,
apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya
hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan,
sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila
dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung
eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam
jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah.
Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya
berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang
yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar
pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai.
Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah
dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak
terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi
yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat.
Kalau pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya,
mengapa pada saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk
berinvestasi?
Ø Dalam Bidang Politik
Dampak
negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di
pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan
rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.Selain itu terkadang
adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang
dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya,
atau bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti
Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi
daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan
di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat
peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal
dalam melakukan korupsi dengan APBD :
1) Korupsi Pengadaan Barang
Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai
barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses
tender.
2) Penghapusan barang
inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk
kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor
untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan
pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar
ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang
bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus : a. Pemotongan dana bantuan
sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5) Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif
seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
BAB
III PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya
otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program
dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak
positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun
memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program
serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi
dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang
/badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui
mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang
akan terjadi.
B.Saran
Analisis
Langkah-Langkah Yang Harus Diambil Pemerintah Dalam Mengontrol Otonomi Daerah:
1) Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi aspirasi untuk
otonomi di tingkat propinsi dan
sejalan dengan strategi desentralisasi secara bertahap.
2) Menyusun sebuah rencana implementasi
desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang
menyangkut penjaminan kesinambungan pelayanan pada masyarakat,perlakuan
perimbangan
antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal yang berkelanjutan.
3) Untuk mempertahankan momentum desentralisasi,pemerintah
pusat perlu menjalankan segera
langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada sektor-sektor yang
jelas merupakan kewenangan
Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
4) Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-mata
tugas dan tanggung jawab dari menteri
negara otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi menuntut koordinasi dan
kerjasama dari
seluruh
bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan Polkam).
Upaya
Yang Menurut Saya harus Dilakukan Pejabat Daerah Untuk Mengatasi
Ketimpangan Yang Terjadi :
1)Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM
yang berada di pusat dapat
terdistribusi ke daerah
2) Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat
dilakukan melalui pendidikan
politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan
lainnya.
3) Pejabat daerah
harus bisa bertanggung jawab dan jujur.
4) Adanya kerjasama
antara pejabat dan masyarakat.
5) Dan yang paling penting pejabat harus
tahu prinsip-prinsip otonomi
DAFTAR PUSTAKA
Josef Riwu Kaho, MPA., Prospek
Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Cet.10,
Jakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah Kasih atas Kunjungan Anda...