POLA KONSUMSI
Perubahan Pola Konsumsi
Intisari
Pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan hidup dalam pembangunan harus dilandasi dengan pendekatan
pendayagunaan sumberdaya alam dengan
manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan. Pola
konsumsi sumberdaya alam seharusnya memberi kesempatan dan peran-serta
masyarakat serta memberdayakan masyarakat untuk dapat mengelola sumberdaya alam
secara optimal dan lestari .
Masih sangat
terbatas kebijakan yang secara eksplisit mendorong pada pola produksi dan
konsumsi yang optimal dan berkelanjutan.
Selain itu, pola konsumsi yang dikaitkan dengan peningkatan gizi dan
kesehatan masih merupakan masalah utama bagi Jawa Timur.
Dalam sebagian
kehidupan masyarakat dan budaya perkotaan telah berkembang gaya hidup
konsumtif, karena sebagian besar mereka tidak lagi mengkonsumsi berdasarkan
nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang hanya merupakan “simbol” di mana
image atau citra menjadi sangat penting. Hal ini seiring dengan semakin
pesatnya kemajuan dunia informasi dan komunikasi. Permasalahan Lingkungan
seperti pencemaran, degradasi lahan kritis, dan kelangkaan sumberdaya alam akan
cenderung berkembang sebagai dampak dari pola produksi/ industri dan konsumsi
yang berlebihan.
Konsumsi energi meningkat sekitar 8% per tahun. Konsumen terbesar
adalah sektor industri (4.9%). Transportasi membutuhkah 32% dan selebihnya
adalah untuk kebutuhan rumah tangga.
Berubahnya struktur ekonomi dari pertanian ke industri dan meningkainya
aktivitas ekonomi di pelbagai sektor kehidupan, mempengaruhi Iaju peningkatan
konsumsi energi yang secara langsung juga akan meningkatkan emisinya. Untuk
mencegah dan mengatasi dampak emisi ini pola konsumsi dan produksi sumberdaya
energi perlu segera ditangani secara tepat dan cermat.
Semakin
terbatasnya ketersediaan sumberdaya air di Jawa Timur, maka pola konsumsi air
harus mempertimbangkan sumberdaya air di masa mendatang. Bidang agrokompleks
masih akan tetap menjadi konsumen terbesar. Walaupun demikian, di beberapa
wilayah Jawa Timur, persaingan pemanfaatan sumberdaya air akan canderung
menajam antara pertanian, industri dan rumah tangga.
Berdasarkan
hal-hal di atas maka visi dalam pengendalian pola konsumsi adalah “Mendorong
terwujudnya pola produksi dan pola konsumsi pangan, energi dan air, di jawa Timur yang berkeadilan, berorientasi
kesejahteraan masyarakat dan ramah lingkungan”. Sedangkan misi yang
diemban adalah (1). Meningkatkan kepedulian seluruh masyarakat akan pola
konsumsi pangan dan penganekaragamannya yang berorientasi pada ketersediaan
gizi dan kelestarian lingkungan; (2) Mengintensifkan pendidikan hemat energi
bagi masyarakat umum dengan jalan memberikan pengetahuan dasar pengelolaan
energi, khuusnya bagi generasi muda, agar budaya hemat energi dapat tertanam sejak
dini; dan (3) Mengkampanyekan pola produksi dan konsumsi sumberdaya air yang
hemat dan ramah lingkungan hingga menjadi budaya masyarakat.
Beberapa program prioritas adalah
sebagai berikut:
A. Pola Produksi dan
Konsumsi Pangan, dan Kecukupan Gizi;
B. Pola Produksi dan
Konsumsi Sumberdaya Energi; dan
C. Pola Produksi dan
Konsumsi Sumberdaya Air.
1. Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
B
|
elum banyak kebijakan yang secara
eksplisit mendorong terwujudnya pola produksi dan konsumsi sumberdaya alam yang
berkelanjutan. Pola konsumsi yang
dikaitkan dengan peningkatan gizi dan kesehatan masih merupakan masalah utama
bagi masyarakat Jawa Timur pada umumnya.
Di lain pihak, dalam masyarakat dan budaya perkotaan telah banyak
berkembang gaya hidup konsumtif, karena sebagian besar mereka tidak lagi
mengkonsumsi berdasarkan nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang hanya
merupakan "simbol", di mana image atau citra meniadi sangat
penting. Hal ini seiring dengan semakin
pesatnya kemajuan dunia informasi d;mana informasi tidak lagi sekedar alat atau
modal tetapi sudah menjadi produk itu sendiri.
Permasalahan lingkungan seperti pencemaran, lahan kritis, kelangkaan
sumberdaya alam akan cenderung berkembang sebagai dampak dari pola produksi industri
dan konsumsi yang berlebihan.
Salah satu penyebab berlangsungnya degradasi lingkungan
adalah adanya pola konsumsi dan pola produksi yang tidak ramah lingkungan.
Tuntutan yang berlebihan dan gaya hidup dari kalangan orang-orang kaya telah
menimbulkan tekanan yang berat terhadap kelestarian kualitas lingkungan. Di lain pihak, kalangan penduduk miskin tidak
mampu memenuhi kebutuhannya akan pangan, pelayanan kesehatan, tempat berteduh,
dan pendidikan secara memadai. Pola
konsumsi yang cenderung berlebihan secara langsung akan berpengaruh pada
eksploitasi sumberdaya alam.
Indonesia, termasuk Jawa Timur, saat ini masih termasuk di dalam
negara-negara yang pendapatan nasionalnya rendah (low middle income countries) dengan pendapatan per kapitanya berkisar
US $1,000, dan dengan jumlah penduduk miskin absolut sangat banyak ingin terus
memacu pertumbuhan ekonominya dan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat. Hal ini tercermin dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara, Pola Dasar (POLDAS), Rencana Strategis (RENSTRA) dan Program Pembangunan Daerah
(PROPEDA).
Menjelang tahun 2020 diperkirakan akan terjadi banyak perubahan yang
mempengaruhi proses pelaksanaan pembangunan daerah. Hal ini sebagai akibat dari percepatan
perkembangan di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, budaya serta
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah lingkungan tampaknya akan menjadi
salah satu masalah yang penting dengan kondisi yang jauh berbeda dengan
masa-masa sebelumnya. Jumlah penduduk secara absolut akan terus meningkat dan karena
itu akan menimbulkan permasalahan yang berbeda pula. Walaupun demikian, di masa depan keluarga
kecil akan semakin diminati dan kualitas sumberdaya manusia akan semakin
diperhatikan.
Jumlah penduduk di Jawa Timur diperkirakan akan terus meningkat hingga
tahun 2020. Proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan juga cenderung terus
meningkat yakni menjadi sekitar hampir 40% pada tahun 2020. Hal ini secara langsung akan memberikan
implikasi pada semakin meningkatnya kebutuhan akan pangan, gizi, sandang,
perumahan, energi, serta kebutuhan-kebutuhan mendasar lainnya. Di lain pihak, dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi pada dua dekade terakhir ini, dan semakin tingginya tingkat
pendidikan yang dicapai tampaknya juga mempengaruhi perubahan-perubahan pada
perilaku konsumsi dan kebutuhan-kebutuhan tersebut secara bertahap juga
cenderung mengalami perubahan baik antar daerah, antar sektor pertanian dan non
pertanian, penduduk perkotaan maupun pedesaan, serta antara golongan yang
berpendapatan tinggi dan rendah.
Dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, kecenderungan terjadinya
pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri
diperkirakan akan mempengaruhi perubahan di berbagai sektor baik ekonomi,
sosial, budaya, politik dan lingkungan. Di Jawa Timur diperkirakan 70% lokasi
industri terkonsentrasi di sekitar perkotaan.
Hal ini diperkirakan akan menyebabkan semakin meningkatnya beban
pencemaran di wilayah perkotaan.
Beban pencemaran air (BOD) diperkirakan akan meningkat terus, bahan berbahaya dan beracun
(B3) diperkirakan juga akan terus meningkat. Pencemaran udara yang dicirikan
oleh peningkatan kadar debu, timah hitam (Pb), S02, dan NOx juga meningkat
dengan tumbuhnya sektor industri dan sektor transportasi.
Masalah yang ditimbulkan oleh peningkatan konsumsi sumberdaya alam dan
lingkungan tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan saja, tetapi juga terjadi
di wilayah pedesaan yaitu dengan semakin besarnya luas lahan kritis akibat
eksploitasi sumberdaya lahan di daerah iklim kering, hutan lindung, suaka alam,
dan kawasan lindung lainnya.
Perubahan pola konsumsi dalam bagian ini meliputi berbagai isu dan aspek
yang relatif cukup luas. Oleh karena itu
bagian ini tidak dapat dilepaskan dari pembahasan pada bagian-bagian lain
misalnya, masalah penduduk, kesehatan, kemiskinan, dan perumahan. Disamping itu, pengkajian mengenai perubahan
pola konsumsi yang terjadi tampaknya cenderung membutuhkan pendekatan yang
berbeda-beda untuk setiap unit analisis misalnya apakah itu pola konsumsi individu,
keluarga, masyarakat, desa-kota, swasta, ataukah pola konsumsi nasional. Keterbatasan informasi dan data yang
berkaitan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat dan sulitnya menetapkan
satu unit analisis untuk mengetahui terjadinya perubahan pola konsumsi yang
terjadi juga menjadi salah satu kendala.
Bidang program dalam bagian ini dititikberatkan pada pola produksi,
konsumsi pangan, dan kecukupan gizi, karena kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masih merupakan masalah yang sangat penting di Jawa Timur. Kajian-
kajian dalam bagian ini juga lebih dititikberatkan pada perubahan pola produksi
dan konsumsi pangan tersebut dan kecukupan energi pangan yang dikonsumsi bagi
masyarakat, yang sebagian besar masih tergantung pada beras sebagai konsumsi pangan
pokok. Oleh karena itu keterkaitan
antara pola konsumsi pangan dan gizi juga merupakan pokok kajian dalam program
ini. Walaupun demikian, bidang program
ini juga mengkaji perubahan pola produksi dan konsumsi non-pangan yang
tampaknya cukup relevan untuk dibahas lebih mendalam seperti perubahan pola
produksi dan konsumsi energi dan kebutuhan akan sumberdaya air di masa
mendatang. Peningkatan jumlah penduduk
pada akhir PJP II tentunya akan memberikan konsekuensi pada meningkatnya
kebutuhan akan pemanfaatan sumberdaya energi dan air baik secara volume maupun
kualitasnya untuk seluruh sektor baik bagi pemerintah, dunia usaha maupun
masyarakat luas.
1.2.
Strategi
1.2.1.
Visi
Mendorong
terwujudnya pola produksi dan pola konsumsi pangan, energi dan air, di Jawa Timur yang berkeadilan, berorientasi
kesejahteraan masyarakat dan ramah lingkungan.
1.2.2.
Misi
1.
Meningkatkan kepedulian seluruh masyarakat akan pola
konsumsi pangan dan penganekaragamannya yang berorientasi pada ketersediaan
gizi dan kelestarian lingkungan
2.
Mengintensifkan komunikasi dan pendidikan hemat
energi bagi masyarakat umum dengan jalan memberikan pengetahuan dasar
pengelolaan energi, khususnya bagi generasi muda, agar budaya hemat energi
dapat tertanam sejak dini.
3.
Mengkampanyekan pola produksi dan konsumsi
sumberdaya air yang hemat dan ramah lingkungan hingga menjadi budaya masyarakat
Jawa Timur.
1.2.3. Tujuan
Pengembangan pola
produksi dan konsumsi pangan, energi dan air yang meminimumkan tekanan terhadap
lingkungan dengan tetap memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar bagi manusia
dan segenap masyarakat secara adil dan berkelanjutan.
2.
Program-Program
2.1.
Bidang Program A
POLA PRODUKSI, KONSUMSI PANGAN DAN KECUKUPAN GIZI
2.1.1. Dasar Pertimbangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang bersifat absolut. Pangan berfungsi sebagai penyusun tubuh,
sumber energi, dan pengatur metabolisme.
Karena itu di samping jumlah pangan yang dikonsumsi, kualitas pangan
juga merupakan hal yang sangat penting.
Kualitas pangan ditentukan oleh susunan berbagai unsur dalam bahan makanan,
seperti karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan vitamin. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, manusia
mengadaptasikan pola pangannya yang secara ekologis sesuai dengan daerah tempat
hidupnya baik dari segi biofisik, maupun dari segi sosial budaya. Hal ini terjadi secara terus menerus sehingga
selalu terjadi pergeseran pola makan.
Walaupun faktor sosial budaya dan ekonomi mempengaruhi jenis makanan
yang dimakan, upaya untuk memperoleh makanan bertumpu pada jenis makanan yang
dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan.
Dalam Pembangunan Jangka Panjang I pola konsumsi pangan menggambarkan
bahwa padi- padian (beras) dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk. Untuk masyarakat pada umumnya, beras
merupakan satu-satunya makanan pokok utama.
Keseimbangan pola konsumsi pangan beras dengan pangan hewani / ikani,
kacang-kacangan dan sayuran serta buah-buahan merupakan masalah yang perlu
mendapat perhatian. Dari hasil
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993 diketahui bahwa mutu pola
ketersediaan pangan yang dikonsumsi penduduk Jawa Timur tergolong
“medium”. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pola pangan dengan komposisi energi dari beras/padi-padian sebesar 50%,
umbi-umbian 5%, pangan hewani 15,3%, lemak dan minyak 10%, kacang-kacangan 3%,
gula 5%, sayuran 6,7% dan buah-buahan 5%. Pola konsumsi pangan tersebut masih
belum sepenuhnya memenuhi pedoman umum gizi seimbang guna perbaikan gizi
penduduk. Dengan demikian, peningkatan
penyediaan pangan yang beraneka ragam sehingga terwujudnya pola konsumsi pangan
yang memenuhi kebutuhan gizi yang memadai dapat dipenuhi.
Selama PJP I dalam upaya peningkatan produksi pangan, para petani dan
produsen pangan menerapkan agroteknologi dengan menggunakan bibit unggul,
pupuk, pestisida dan hormon. Bahan
agrokimia tersebut umumnya dapat berbahaya bagi kesehatan konsumen. Selain itu, bahan pangan dan pangan olahan
kemungkinan tercemar oleh limbah industri karena lemahnya pengawasan dan
pemantauan. Perlu adanya suatu kebijakan
dan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Selama 25 tahun terakhir ini, produksi pangan dan pertanian di Jawa Timur
telah menunjukkan suatu peningkatan yang besar.
Produksi pangan utama telah meningkat lebih dari dua kali lipat selama
kurun waktu 1969-1993. Demikian juga
produksi bahan pangan penyedia protein hewani yang terdirl dari ikan, daging,
susu dan telur, telah meningkat selama periode yang sama. Peningkatan produksi ini didukung oleh
berbagai faktor, seperti pengembangan sarana-sarana irigasi, penggunaan
varietas unggul, bibit unggul, pupuk, pestisida, di samping perluasan areal
pertanian. Hampir tiga dekade sejak
tahun 1969 hingga 1993 luas areal tanaman pangan mengalami peningkatan yang
sangat pesat.
Kebijakan pangan dalam PJP I telah berhasil meningkatkan ketersediaan
beras bagi penduduk. Tercapainya
swasembada beras (pada tahun 1984) telah meningkatkan ketahanan pangan dan
telah memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan produksi pangan
lainnya, seperti hortikultura, peternakan dan perikanan. Meningkatnya
ketersediaan hasil peternakan dan perikanan telah mendorong peningkatan
konsumsi protein hewani. Perubahan pola
konsumsi pangan ini telah memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan serta
produktifitas kerja masyarakat.
Keberhasilan di bidang pangan berpengaruh positif terhadap stabilitas
ekonomi, meningkatnya kesempatan kerja dan pendapatan petani, penghematan
devisa, serta penanggulangan kemiskinan.
Semakin intensifnya sistem pertanian dan pesatnya pertumbuhan penduduk,
melahirkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi bukan saja oleh sektor
pertanian, melainkan juga oleh sektor-sektor lain yang terkait. Dampak terhadap
lingkungan akibat praktek-praktek pertanian yang kurang bijaksana telah
menimbulkan berbagai kekhawatiran mengenai pengaruh yang merugikan bagi
kelestarian sumberdaya alam. Sistem
usahatani di lahan kering, terutama di bagian hulu daerah-daerah aliran sungai
yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta
praktek-praktek perladangan berpindah telah dianggap menimbulkan kerusakan
lahan yang dapat mengancam kemampuan sumberdaya tersebut dalam menopang
pembangunan berkelanjutan. Peningkatan
penggunaan pupuk dan pestisida juga telah diakui dapat mencemari lingkungan dan
merangsang munculnya hama-hama biotipe baru.
Dalam lima tahun terakhir ini, seiring dengan keadaan
perekonomian nasional, terlihat adanya pergeseran pola konsumsi penduduk antara
makanan dan kelompok bukan makanan.
Persentase pengeluaran untuk makanan tampaknya memang
semakin menurun yaitu dari sekitar 60% pada tahun 1990 menjadi sekitar 57% pada
tahun 1993 . Dengan masih sekitar lebih
50% pengeluaran konsumsi digunakan untuk makanan maka hal ini mencerminkan
masih rendahnya pendapatan per jiwa penduduk Indonesia. Melalui pembangunan ekonomi dan peningkatan
pendapatan secara bertahap persentase pengeluaran untuk makanan akan cenderung
menurun. Tingkat pendapatan juga menentukan pola makanan apa yang akan
dikonsumsikan. Orang berpendapatan
rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan,
sedangkan yang berpendapatan tinggi porsi untuk makanan akan terus
berkurang. Selain itu baglan makanan
yang berasal dari padi-padian akan menurun dan makanan yang berasal dan protein
hewani, misalnya susu akan terus meningkat dengan semakin tingginya tingkat
pendapatan mereka.
Pengeluaran rumah
tangga di perkotaan maupun pedesaan sebagaian besar masih untuk kebutuhan
pangan (Tabel 1).
Tabel 1.
Alokasi
Pengeluaran Rumah Tangga Di Jawa Timur*)
Pengeluaran RT
|
Perkotaan
|
Pedesaan
|
|||
Tdk miskin
|
Miskin
|
Tdk miskin
|
Miskin
|
||
1. Pangan
|
59.45
|
64.57
|
67.03
|
68.90
|
|
2. Pendidikan
|
7.01
|
5.89
|
3.84
|
2.45
|
|
3. Ksehatan
|
2.24
|
2.34
|
1.74
|
1.40
|
|
4. Pakaian
|
4.11
|
4.41
|
4.57
|
4.14
|
|
5. Perumahan
|
17.64
|
14.48
|
14.62
|
15.51
|
|
6. Barang tahan lama
|
2.08
|
1.75
|
1.78
|
1.59
|
|
7. lainnya
|
7.47
|
6.56
|
6.42
|
6.11
|
Keterangan :*) %
pengeluaran terhadap pengeluaran total.
Tabel 1 di atas
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaaan alokasi relatif pengeluaran antara
rumah tangga miskin dan non miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Tingginya alokasi pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan kecilnya untuk non
pangan menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang diperoleh umumnya baru cukup untuk hidup. Keadaan ini khususnya untuk keluarga pedesaan
dan pada rumah tangga miskin, apabila ingin meningkatkan pendidikan anaknya ataupun ada gangguan kesehatan pada
salah satu keluarganya, maka jelas bahwa rumah tangga tersebut akan mengurangi
pengeluaran untuk kebutuhan pangannya.
Berdasarkan
gambaran di atas jelaslah bahwa dalam beberapa hal, khususnya untuk pendidikan
dan kesehatan, subsidi pemerintah masih dipandang perlu untuk dilakukan apabila
pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program pengentasan kemiskinan yang telah
dicanangkan pemerintah perlu juga diimbangi dengan adanya dukungan program
bidang pendidikan dan kesehatan.
Alokasi beaya
untuk kesehatan dari rumahtangga di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan
di perkotaan. Di pedesaan beaya untuk
pengeluaran kesehatan diperkirakan Rp 3000- 10000 , sedangkan diperkotaan 2-3
kalinya. Gambaran pengeluaran rumahtangga untuk kesehatan sebagaimana disajikan
dalam Tabel 2 berikut ini. Pada
rumahtangga miskin pengeluaran untuk kesehatan 2-3 kali lebih rendah
dibandingkan rumahtangga tidak miskin. Beaya untuk kesehatan ini umumnya
teralokasi sebesar 2 % dari penegluaran pangan, dan 2-5 % dari pengeluaran
totalnya.
Tabel 2.
Pengeluaran Rumah
Tangga untuk Beaya Kesehatan, 1992
Pengeluaran RT
|
Pedesaan:
|
Perkotaan:
|
|||
Miskin
|
Tdk miskin
|
Miskin
|
Tdk miskin
|
||
1. Pengeluaran
Kesehatan (Rp/kapita/tahun)
|
2810
|
9150
|
4737
|
17550
|
|
2. Persentase
pengeluaran kesehatan thd pengeluara
keseluruhan
|
1.34
|
1.97
|
1.80
|
2.47
|
|
3. Persentase
pengeluaran kesehatan thd pengeluaran
pangan
|
2.07
|
3.96
|
2.98
|
5.22
|
|
Keterangan:
Pola konsumsi pengeluaran untuk kelompok makanan sendiri tampaknya juga
cenderung terus menurun. Misalnya,
persentase pengeluaran untuk sub-kelompok padi-padian (beras), walaupun memang
masih yang terbesar dibandingkan dengan sub-kelompok makanan lainnya, namun
menunjukkan kecenderungan penurunan dari tahun ketahun. Selain sub-kelompok padi-padian yang juga
cenderung menurun adalah sub-kelompok umbi-umbian, sayur-sayuran, kacang-kacangan,
dan buah-buahan.
Konsumsi untuk makanan yang berasal dah hewani (ikan, daging, telur dan
susu), yang merupakan makanan berprotein tinggi secara konsisten menunjukkan
kecenderungan peningkatan. Persentase
konsumsi untuk makanan jadi pun (fast food) juga cenderung meningkat. Penurunan persentase konsumsi untuk makanan
pokok di satu sisi, dan peningkatan persentase konsumsi untuk makanan hewani
dan makanan jadi seringkali
diasosiasikan dengan kemajuan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pola konsumsi bukan makanan seperti perumahan
(termasuk bahan bakar, penerangan dan air), pakaian, dan aneka barang dan jasa
(termasuk transportasi) dari tahun ke tahun juga cenderung terus meningkat.
Peningkatan konsumsi bukan makanan ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun
perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa
selama beberapa tahun terakhir ini memang telah terjadi perubahan yang cukup
mendasar dari pola konsumsi penduduk.
Dalam proses perubahan pola konsumsi ini jelaslah pangan
masih- memegang peranan penting.
Sementara itu jumlah impor pangan masih relatif besar. Karena itu seyogianya pengolahan sumber alam
perlu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pangan terlebih dahulu. Dari sudut pandang jasa investasi mungkin
pengalihan tanah sawah menjadi kawasan bangunan dan industri mungkin lebih
menguntungkan, namun dari sudut kepentingan konsumen umum jelaslah pemantapan
sawah sebagai lahan produksi pangan menduduki tempat yang utama. Dalam memihak pada kepentingan konsumen umum
seperti ini peranan keberpihakan pemerintah menjadi sangat penting agar
mekanisme pasar dapat lebih mencerminkan kepentingan konsumen umum.
Walaupun demikian, perubahan pola konsumsi pangan, dan
bukan pangan ini seperti perumahan, dan energi misalnya tampaknya juga membawa
konsekuensi terhadap terjadinya perubahan kondisi lingkungan. Meningkatnya kebutuhan penduduk akan pangan
pada tahun-tahun mendatang tentunya akan berpengaruh langsung pada upaya
peningkatan produksi beras, yang berarti akan semakin meningkatkan pula
kebutuhan akan pencetakan lahan-lahan sawah baru. Di lain pihak, kebutuhan lahan untuk
pembangunan sektor lain seperti industri dan perumahan juga terus
meningkat. Fenomena seperti ini menjadikan
masalah di dalam pola penggunaan lahan bertambah pelik. Bahkan tidak jarang muncul kegiatan-kegiatan
penduduk yang justru menurunkan kualitas sumberdaya alam.
Dengan semakin intensifnya sistem pertanian (dengan
menggunakan teknologi pertanian) guna meningkatkan produksi hasil pertanian,
pemupukan yang berlebihan, dan penggunaan pestisida yang tidak bijaksana
cenderung menimbulkan dampak lingkungan yang lebih besar lagi. Bahan kimia tersebut sangat berbahaya bagi
kesehatan konsumen. Selain itu, pengawasan
lingkungan belum dilaksanakan secara efektif sehingga limbah industri menyebabkan
timbulnya polusi. Keadaan ini telah
menyebabkan bahan pangan dan pangan olahan mudah tercemar oleh mikroba atau zat
kimia yang membahayakan kesehatan manusia.
Perilaku Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Gizi
Salah satu indikator guna menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk
adalah tingkat kecukupan gizi biasanya disajikan dalam bentuk kalori dan
protein yang dikonsumsi. Besarnya
konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan
yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap jenis
makanan ter-sebut (kandungan kalori dan protein untuk setiap jenis makanan
diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan Direktorat Gizi, Departemen
Kesehatan) kemudian hasilnya dijumlahkan (BPS, 1994).
Dalam memberikan pedoman atau pun patokan mengenai standar kecukupan
konsumsi kalori dan protein penduduk, sebagian ahli gizi memberikan patokan
yang berbeda-beda. Dari hasil Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi IV (1988) ditetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori
dan protein per kapita per hari masing-masing 2050 kcal dan 44 gram. Patokan yang digunakan untuk menetapkan
tingkat kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari di sini
adalah berdasarkan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik yang melandaskan
pada patokan Departemen Pertanian yaitu 2.000 kalori dan 45 gram protein.
Secara kasar dapat dinyatakan konsumsi kalori penduduk telah mencukupi
standar kecukupan, dan konsumsi protein telah berada di atas standar
kecukupan.
Kontribusi padi-padian dalam konsumsi kalori penduduk menempati posisi
yang utama diikuti oleh konsumsi lainnya - yang bila ditelusuri lebih jauh
konsumsi lainnya ini akan di dominasi oleh kelapa, minyak goreng, dan
gula. Walaupun demikian, selama kurun
waktu 1987-1993 peranan padi-padian dalam menyumbang kaloh (energi) turun
sekitar tiga persen. Konsumsi kalori
penduduk yang berasal dari padi-padian hanya sekitar 1.200 kcal.
Di samping itu, konsumsi umbi-umbian yang diharapkan dapat meningkat
seiring dengan adanya diversifikasi pangan, pada kenyataannya juga menunjukkan
penurunan yang cukup berarti.
Sebaliknya, konsumsi pangan sumber protein hewani yang mencakup ikan,
daging, telur dan susu sejak tahun 1987 cenderung terus meningkat. Sementara sumber protein nabati yaitu
kacang-kacangan juga terus meningkat, sedangkan gambaran konsumsi sayur-sayuran
dan buah-buahan justeru kurang menggembirakan dan cenderung menurun.
Tabel 4.
Rata-rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari
Propinsi
|
Kalori
|
Protein
|
||||
Kelompok Makanan |
Kelompok Makanan |
|||||
Dimasak Jadi
|
Di Rumah
|
Jumlah
|
Dimasak Jadi
|
Di Rumah
|
Jumlah
|
|
Jawa Timur
|
1.724,01
|
193,84
|
1,917,85
|
41,86
|
4,71
|
46,57
|
Sumber: Buku 2 BPS, 1994.
Hasil analisis di atas merupakan gambaran rata-rata
konsumsi pangan penduduk Jawa Timur tanpa memperhatikan lapisan-lapisan
masyarakat, sehingga tidak dapat diketahui bagaimana distribusi konsumsi pangan
yang bersangkutan dan bagaimana perbedaan pola konsumsi kalori dan protein
(energi) pada tiap-tiap lapisan masyarakat.
Hasil – hasil penelitian mengungkapkan
bahwa semakin tinggi golongan pengeluaran, semakin tinggi pula konsumsi
energi (kalori dan protein).
Menurut Susenas 1993, berdasarkan tipologi daerah
perdesaan dan perkotaan data tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kalori di
daerah perdesaan lebih tinggi di bandingkan dengan perkotaan apalagi jika
konsumsi makanan jadi tidak diperhitungkan.
Keseragaman pola konsumsi baik antar propinsi maupun daerah, umumnya
lebih disebabkan antara lain oleh perbedaan tingkat pendapatan, ciri-ciri
demografis, dan sumberdaya setempat di samping adanya perbedaan tingkat
konsumsi makanan jadi antara perkotaan dan perdesaan. Pemenuhan kebutuhan
psikologis dari konsumsi makanan sdatnya subyektif. Latar belakang sosial budaya sangat
mempengaruhi. Hal ini terlihat dari
adanya jenis makanan khas di beberapa daerah.
Nilai sosial makanan tampaknya juga sangat penting. Orang terdorong untuk makan makanan yang
mempunyai nilai sosial yang tinggi.
Misalnya, karena beras dipandang mempunyai simbol status tinggi, maka di
berbagai daerah orang mengadaptasikan makanan pokoknya dengan beras ini.
Hasil-hasil penelitian mengungkapkan bahwa meningkatnya konsumsi daging,
telur dan susu tidak lah semata-mata karena perubahan pendapatan. Faktor demografispun diperkirakan akan turut
mempengaruhi perubahan pola konsumsi. Di
masa yang akan datang, dengan semakin berhasilnya program keluarga berencana,
jumlah anak per keluarga tidak lagi banyak, peran-serta wanita dalam pasar
kerja meningkat yang tentunya akan mempengaruhi peningkatan pendapatan
keluarga. Karena itu, kualitas hidup
akan semakin mendapat perhatian. Hal ini
juga terlihat dengan meningkatnya pengeluaran rumah tangga untuk makanan
berkualitas tinggi seperti daging, telur dan produk ternak. Selain itu pengeluaran lainnya juga
diperkirakan akan terus meningkat seperti kesehatan, pendidikan, perumahan,
hiburan dan bacaan serta komunikasi.
2.1.2. Tujuan
Mendorong terwujudnya ketahanan dan keamanan
pangan dan mengeliminasi penggunaan bahan-bahan yang berbahaya baik bagi
kelestarian lingkungan hidup maupun bagi kesehatan manusia; terbebasnya
masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia (khususnya
bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin).
Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara
berbagai lembaga terkait baik antara pemerintah, masyarakat maupun
kelompok-kelompok masyarakat.
Peningkatan koordinasi didukung oleh penyusunan perangkat hukum yang
mencakup penyediaan bahan baku, produk pangan olahan dan bahan penolong
lainnya.
Mendorong pola produksi dan konsumsi yang lebih
dititikberatkan pada upaya pengelolaan keberlanjutan sumberdaya pangan dengan
memperhatikan perubahan-perubahan struktur penduduk dan berwawasan lingkungan
guna meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat.
2.1.3. Rencana Strategis
Mendorong pengembangan pola produksi dan konsumsi yang
mengurangi tekanan terhadap lingkungan dengan tetap memperhatikan pemenuhan
kebutuhan dasar bagi manusia.
Terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat yang terkecil tercermin dari
tersedianya pangan, gizi yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh
masyarakat. Terwujudnya diversifikasi
konsumsi pangan menghindari konsentrasi pangan hanya pada pemenuhan akan beras
saja, dan ketersediaan berbagai komoditas pangan dan pangan olahan.
2.1.4. Tahapan Kegiatan
Periode
2002-2010
a. Kegiatan yang Berkaitan Dengan Manajemen
1. Meningkatkan
kerjasama dengan organisasi-organisasi yang relevan dalam upaya mendorong
terwujudnya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Hal ini terkait dengan upaya
pemenuhan kebutuhan pangan melalui pola yang berkelanjutan dengan
mempertimbangkan pengembangan penggunaan teknologi yang efisien dan ramah
lingkungan.
2. Pengembangan
mekanisme kemitraan yang mendorong peningkatan peran serta aktif dunia usaha,
swasta, serta koperasi dalam produksi pengolahan pangan, penyediaan dan
distribusi pangan yang berkualitas, aman dan berwawasan lingkungan. Selain itu meningkatkan penataan kelembagaan
terkait dengan pengawasan kualitas dan pengendalian pangan, meninjau kembali
ketentuan-ketentuan dan peraturan yang menghambat usaha peningkatan produksi,
distribusi dan penyediaan pangan yang berwawasan lingkungan antara lain
melalui:
a. pengembangan sistem insentif bagi
peningkatan investasi di bidang produksi dan pengolahan pangan, misalnya dengan
penyederhanaan izin dan peningkatan dana investasi,
b. meningkatkan peranan koperasi usaha
kecil-menengah dalam sistem produksi dan distribusi pangan,
c. Menyusun sistem pengendalian dan
pencegahan dini timbulnya kerawanan, kerusakan dalam penyediaan pangan.
b. Kegiatan yang berkaitan dengan Data dan lnformasi
Jawa Timur bekerjasama dengan organisasi-organisasi nasional dan
internasional yang relevan seyogianya terus berupaya mengembangkan data dan
informasi mengenai produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dan meningkatkan
pemanfaatan, penguasaan, dan penerapan teknologi. Di samping itu, perlu diperoleh informasi
dari berbagai penelitian yang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
faktor produksi berwawasan lingkungan meliputi antara lain:
1. Mengembangkan, memperluas dan mendorong data dasar mengenai
produksi dan konsumsi serta upaya pengembangan metodologi untuk
menganalisisnya.
2. Mengevaluasi secara teratur keterkaitan antara produksi,
konsumsi, lingkungan, teknologi yang digunakan, pertumbuhan dan pembangunan
serta faktor-faktor perubahan demografi.
3. Mengembangkan teknologi produksi pangan yang sederhana dan
tepat guna sesuai dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
4. Mengembangkan teknologi pengolahan pangan untuk mendukung
pengembangan diversifikasi dan industri pengolahan pangan dan makanan
tradisional.
5. Meningkatkan penyediaan informasi tentang produksi,
distribusi, perdagangan dan pengolahan serta pola konsumsi pangan, termasuk
makanan tradisional.
6. Meningkatkan penelitian potensi komoditas pangan baru
(diversifikasi pangan), serta pola dan perilaku makan, menu makan dan gizi
masyarakat.
7. Melakukan identifikasi masalah pangan di kawasan tertinggal,
termasuk masalah diversifikasi pangan, pola makan, menu dan gizi
8. Mengembangkan teknologi tradisional dan teknologi
pengendalian pencemaran pangan dari limbah industri dan rumah tangga,
9. Melakukan analisis jangka panjang
tentang kebutuhan dan produksi serta perubahan pola konsumsi pangan.
10. lnventarisasi dan evaluasi profil makanan
tradisional; penelitian pengelolaan usaha dan kualitas produk-produk makanan
tradisional.
11. Menyebarluaskan informasi pola produksi
dan konsumsi pangan yang peduli lingkungan secara teratur, sistematis ke
seluruh masyarakat luas melalui berbagai media massa dan media elektronik. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama
dan terpadu antar pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Periode 2010-2020
1.
Melanjutkan dan meningkatkan
kerjasama yang lebih baik dan mantap di antara organisasi-organisasi (dan
kelembagaan) yang relevan dalam mempertahankan dan memantapkan pola konsumsi
dan produksi pangan yang berkelanjutan.
2.
Memantapkan Upaya-upaya
pengembangan dan penggunaan teknologi yang lebih efisien, dan terus
meningkatkan penelitian yang berkaitan dengan diversifikasi pangan yang
berwawasan lingkungan.
3.
Mendorong optimalisasi
penggunaan pajak penjualan untuk mengendalikan permintaan masyarakat terhadap
konsumsi barang-barang dan jasa-jasa yang berpotensi merusak kelestarian
lingkungan.
2.2. Bidang Program B
PERUBABAN POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI ENERGI
2.2.1. Dasar Pertimbangan
Menjelang akhir Pembangunan Jangka Panjang II peningkatan pembangunan dan
proses industrialisasi serta laju pertumbuhan energi diperkirakan akan
meningkat dengan pesat. Peranan
sumberdaya energi bagi Indonesia secara nasional pada masa mendatang diperkirakan
akan tetap besar baik bagi pemenuhan kebutuhan industri, pertanian,
transportasi maupun rumah tangga. Energi
dalam bentuk mineral (minyak dan gas), kayu bakar, listrik juga merupakan
sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara. Di lain pihak, sumberdaya energi meskipun
cukup tersedia sebagai kekayaan alam, namun untuk menyediakannya sebagai sumber
energi yang siap dimanfaatkan dalam jumlah dan kualitas yang memadai tidak
mudah. Dengan demikian yang harus
diperhatikan adalah mempertahankan dan berupaya agar kebutuhan energi yang meningkat
baik bagi kehidupan masyarakat maupun bagi kegiatan ekonomi, khususnya untuk
mendukung proses industrialisasi dapat terpenuhi.
Dewasa ini, hampir 90% konsumsi energi dunia berasal dari sumber-sumber
yang tak terbarukan, dan minyak bumi menduduki porsi setengahnya. Cadangan minyak dunia saat ini diperkirakan
berjumlah sekitar satu trilyun barel. Jika kebutuhan konsumsi energi mencapai 65 juta barel sehari dan
tumbuh sekitar 2% setahun, maka diperkirakan cadangan minyak bumi tersebut akan
terkuras habis hanya dalam jangka waktu 30 tahun. Dengan demikian krisis energi diperkirakan
akan menjadi masalah utama di masa mendatang, khususnya bagi negara-negara
kawasan Asia- Pasifik termasuk Indonesia.
Hal ini terjadi karena permintaan akan minyak terus membumbung melebihi
kemampuan produksinya, sehingga diperkirakan kawasan Asia-Pasifik akan
tergantung pada negara-negara kawasan Timur Tengah yang menguasai dua pertiga
cadangan minyak dunia.
Saat ini Indonesia masih menggunakan sumber energi minyak bumi sebagai
pasokan utama untuk memenuhi kebutuhan energinya, sementara cadangannya
tidaklah dapat dikatakan memadai. Untuk
mempertahankan tingkat produksi saat ini, diperlukan upaya terus menerus
menemukan cadangan-cadangan baru, apalagi pada saat sumberdaya energi lainnya
belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Di sisi lain, rendahnya harga energi minyak menjadi hambatan utama
terbatasnya pengembangan sumber energi pengganti tersebut.
Untuk masa-masa yang akan datang, dapat dipastikan bahwa
konsumsi energi akan terus meningkat dengan pesat. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor
seperti pertambahan penduduk, penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan listrik
oleh masyarakat yang semakin meluas, industrialisasi, dan peningkatan kegiatan
pada sektor ekonomi lainnya. Jika laju pertumbuhan konsumsi energi tidak dapat
dikendalikan sejak dini, maka Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak
bumi dalam waktu dekat. Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa masyarakat luas dan kalangan dunia usaha pada umumnya
belum siap membayar harga energi yang mencerminkan nilai ekonominya. Dan penggunaan energi per unit PDB (Produk
Domestik Bruto), Indonesia masih tergolong negara yang boros, dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya (Bakoren, 1995; dalam Agenda 21 Indonesia). lni
menunjukkan indikasi bahwa penggunaan energi, khususnya minyak bumi, belum
didukung oleh pemanfaatannya yang efisien dan rasional.
Ditinjau dari jenis sumber energi, minyak bumi masih
mendominasi penyediaan energi domestik.
Di sisi lain, minyak bumi masih merupakan komoditas ekspor penting yang
memberikan sumbangan besar dalam penerimaan devisa negara. Sementara itu, kemampuan ekspor minyak bumi
semakin berkurang sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan
permintaan dalam negeri yang terkait dengan peningkatan kegiatan ekonomi di
samping pengaruh gaya hidup sebagian masyarakat yang cenderung konsumtif.
Meskipun pangsa minyak bumi sebagai sumber energi di dalam negeri telah
berhasil diturunkan, namun volumenya masih bertambah dari tahun ke tahun,
sedangkan cadangannya terbatas. Laju
peningkatan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) selama 20 tahun terakhir masih
tinggi, yakni sebesar 8% per tahun.
Dibandingkan dengan laju konsumsi energi total, kenaikan ini masih lebih
rendah, hal ini merupakan pertanda bahwa kebijakan diversifikasi sudah
menunjukkan hasilnya, khususnya di sektor tenaga listrik. Selama kurun PJP I, laju kenaikan BBM
tersebut terbesar adalah di sektor transportasi
diikuti oleh industri dan rumah tangga.
Diperkirakan pada PJP II konsumen akhir minyak bumi (BBM) masih didominasi oleh
sektor industri , transportasi dan rumah tangga.
Dilihat dari nilai konsumsi energi per kapita, Indonesia tampaknya masih
tergolong rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat kita
belum mampu menggunakan energi sejumlah yang digunakan oleh negara-negara lain
yang lebih maju dalam menunjang kehidupannya.
Hal lain yang lebih mempedhatinkan adalah masih belum dimanfaatkannya
energi secara efisien. Penggunaan energi
di Jawa Timur dan di Indonesia , cenderung boros dan menjurus kepada sifat
konsumtif.
Konservasi energi, yaitu penggunaan energi secara lebih efisien dan
rasional, sebagai salah satu kebijakan nasional merupakan salah satu alat yang
cukup tepat dalam mengatasi masalah energi ini.
Walaupun begitu, tingkat harga energi yang relatif rendah dan kemudahan
penyediaannya, sehingga seringkali timbul pandangan bahwa energi akan selalu tersedia
secara mudah dan murah (terutama di kalangan industriawan), dan belum tumbuhnya
kesadaran hemat energi di kalangan pengguna energi merupakan salah satu kendala
kebijakan tersebut di atas.
Hal lain yang pedu mendapat perhatian adalah dengan tingginya konsumsi
energi tersebut tentunya akan berkorelasi dengan semakin tingginya emisi
gas-gas atau partikel pencemar sebagai hasil buangan penggunaan energi. Pemecahannya adalah penguasaan teknologi,
khususnya teknologi hemat energi. Hal
ini mengingat penyebab utama timbulnya pemanasan suhu bumi adalah pelepasan C02
ke udara. Oleh karena itu, tantangannya
adalah meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia untuk menguasai teknologi di
bidang energi. Selain itu, kebijakan
pengendalian jumlah kendaraan bermotor (transportasi darat) di wilayah perkotaan,
pemerataan lokasi industri di seluruh Indonesia dan pengendalian gaya hidup dan
permintaan masyarakat merupakan kebijakan-kebijakan yang dapat dipertimbangkan
pada masa-masa mendatang.
Jelaslah, permasalahan terletak pada tidak berimbangnya pola konsumsi
energi (didominasi oleh minyak bumi) dan pola ketersediaan (batubara dan gas
alam yang masih terbatas pemanfaatannya).
Beberapa indikator konsumsi dan penyediaan energi yang mempengaruhi
permasalahan tersebut antara lain: rendahnya konsumsi energi per kapita;
peningkatan yang cepat dari laju pertumbuhan konsumsi; ketergantungan pada
minyak bumi masih tinggi; penggunaan energi yang masih boros di Indonesia; dan
masih rendahnya konsumsi listrik per kapita (Deptamben, 1995).
2.2.2. Tujuan
1. Meningkatkan kepedulian dan peran aktif seluruh unit kerja
mencakup pemerintah, swasta, dan masyarakat luas akan penggunaan energi yang
hemat, efisien, dan ramah lingkungan.
Hal ini dimaksudkan agar perilaku konsumtif energi (pemborosan) di
seluruh unit kerja akan dapat diminimumkan.
Dengan demikian untuk menghasilkan tingkat produksi atau jasa yang sama
diperlukan jumlah energi yang lebih sedikit. Dan sebaliknya, pada tingkat
konsumsi energi yang tetap dapat dihasilkan lebih banyak barang atau jasa.
2. Mengembangkan kebijakan konservasi energi yang dapat memberikan
dampak positif karena akan menambah penyediaan jumlah minyak bumi untuk
keperluan ekspor di samping untuk penggunaan di dalam negeri. Di lain pihak
upaya ini akan dapat menunda saat habisnya cadangan minyak.
3. Mengembangkan energi non minyak bumi seperti batubara dan gas bumi
termasuk energi matahari, angin gelombang laut yang bersih lingkungan dan
mendorong pengembangan sumberdaya energi yang dapat diperbaharui dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan, mengoptimalkan pemanfaatan energi yang tidak
dapat diekspor, memperkuat kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam
penyediaan kebutuhan energi dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutannya.
2.2.3. Rencana
Strategis
1. Mendorong berkembangnya budaya hemat energi dan kepedulian
seluruh pengguna energi khususnya industri terhadap energi bersih lingkungan.
2. Memantapkan kebijakan konservasi energi dengan meningkatkan
komitmen daerah dan dukungan penuh oleh seluruh sektor terkait, terciptanya
iklim yang kondusif dan terkoordinasi serta diprioritaskannya program
konservasi energi secara lintas sektoral.
2.2.4. Tahapan Kegiatan
Periode 2002-2010
1. Meningkatkan kerjasama antar seluruh
stakeholder yang relevan dalam upaya mengembangkan pola produksi dan konsumsi
energi (kayu, BBM dan listrik) yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Hal ini terkait dengan upaya
pemenuhan kebutuhan energi melalui pola yang berkelanjutan dengan
mempertimbangkan penggunaan teknologi yang efisien dan tenaga ahli dari negara-negara
industri.
2. Mendorong peningkatan fungsi kelembagaan
dalam upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas serta mutu pelayanan dalam
pengelolaan energi secara menyeluruh dan terpadu misalnya dengan menyempurnakan
kelembagaan sektor listrik dan panas bumi; mengembangkan perangkat kelembagaan
untuk meningkatkan peran sumber energi baru dan terbarukan; serta meningkatkan
efisiensi pengusahaan dan menyempurnakan kelembagaan badan-badan usaha milik
negara yang menangani energi.
3. Mengembangkan instrumen kebijakan yang
bertujuan agar program hemat energi dan energi ramah lingkungan dapat
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu misainya dengan mewajibkan industri
memiliki manajer energi selaku koordinator pelaksana kebijakan di bidang energi
yang mempunyai akses ke pucuk pimpinan.
Hal ini dimaksudkan agar penggunaan energi dapat lebih terencana,
terarah dan terkendali dengan baik.
Kebijakan lain adalah seperti pengembangan audit energi; pemantauan pola
konsumsi energi; target lntensitas energi; mendorong rancangan hemat energi,
penerapan standar hemat energi; pabrikasi produk hemat energi; penerapan
kelaikan jalan bagi transportasi umum dan pribadi; serta penyempumaan sistem
transportasi darat guna mengurangi pemakaian bahan bakar.
4.
Mendorong pengembangan
instrumen kebijakan tentang harga energi yang merupakan alat efektif untuk
mendorong pemanfaatan energi yang lebih efisien antara lain meialui penetapan
harga ekonomi energi. Harga energi perlu ditetapkan dengan memperhitungkan
semua faktor yang mempengaruhinya.
Penetapan ini harus ditinjau dari kriteria produsen, kriteria konsumen
maupun konsep pembangunan secara berkelanjutan.
Penetapan harga ekonomi energi ini harus dapat menjangkau semua
sektor.
Periode 2010-2020
Pengembangan instrumen kebijakan insentif dan
disinsentif yang merupakan faktor pendorong bagi pengguna energi untuk
bertindak hemat energi misalnya dalam hal keringanan pajak, keringanan bea
masuk dan pinjaman lunak. Hal ini guna mendorong penggunaan
peralatan/barang-barang yang hemat energi dan ramah lingkungan. Sebaliknya disinsentif (kenaikan pembayaran
pajak) dikenakan bagi peralatan/barang-barang yang merusak lingkungan dan tidak
hemat energi.
2.2.
Bidang Program C
PERUBAHAN POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI SUMBERDAYA AIR
2.3.1. Dasar Pertimbangan
Dalam kaitannya dengan sumberdaya air, maka air merupakan sumberdaya
terpenting bagi kehidupan manusia dan makhiuk hidup lainnya. Tanpa air seluruh proses kehidupan akan
terhenti. Pengelolaan sumberdaya air
akan semakin penting di masa-masa mendatang, terutama di Jawa Timur yang
penduduknya banyak, yang sawah irigasinya sangat luas, dan sistem industrinya
memerlukan banyak air Indonesia. Masalah
kuantitas air yang timbul selalu mencakup konflik yang muncul dari persaingan
penggunaannya baik untuk pertanian, industri maupun untuk domestik atau rumah
tangga, serta antara air permukaan dan air tanah di wilayah perkotaan yang
tumbuh dengan pesat.
Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita serta seiring
dengan meningkatnya pembangunan sektor industri dan pertanian secara langsung
akan berpengaruh pada semakin meningkatnya kebutuhan akan air di masa
mendatang. Selama PJP I diakui bahwa
pemenuhan kebutuhan akan air secara keseluruhan belum memenuhi baik secara
kuantitas maupun kualitas.
Beberapa sumber air tawar, antara lain sungai, waduk, danau, dan air
tanah. Meskipun sumberdaya air tampaknya
dapat terbarukan melalui proses daur ulang, kenyataannya menunjukkan bahwa
ketersediaan air tawar dapat berkurang di beberapa sungai maupun sumber air
lainnya. Beberapa kegiatan manusia
memiliki tingkat penggunaan air yang tinggi, misalnya pada industri dan
pertanian. Pertambahan penduduk yang
pesat dan tidak terkendali juga menyebabkan pemanfaatan air dalam jumlah yang
besar. Perubahan iklim global atau
peningkatan panas bumi dapat pula berpengaruh terhadap sumberdaya air tawar
ini.
Dari
potensi sumberdaya air yang tersedia, belum semuanya dapat dimanfaatkan. Diperkirakan hanya 25-35% dari potensi air
tersebut berupa aliran mantap, yaitu aliran air yang selalu tersedia di setiap
waktu. Sisanya, berupa banjir yang
mengalir dalam waktu singkat dan menghilang ke laut tanpa bisa
dimanfaatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa
potensi air per kapita per tahun cenderung akan mengalami penyusutan dari tahun
ke tahun.
Di Jawa Timur sumberdaya air tawar dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
seperti pertanian, rumah tangga dan industri.
Kebutuhan air di Jawa Timur diperkirakan akan terus mengalami
peningkatan. Peningkatan terbesar terdapat di daerah perkotaan, yang disebabkan
oleh semakin padatnya penduduk dan pesatnya perkembangan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk kegiatan
pertanian masih tetap besar, mencapai 90-95% kebutuhan air total pada tahun
2010, yang berarti bahwa kebutuhan air untuk industri dan domestik kota akan
menjadi sekitar 5-10% pada tahun 2010.
Sementara
itu, pencemaran air pun cenderung terus meningkat sehingga masyarakat terpaksa
memanfaatkan sumber-sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Kualitas air berubah dengan masuknya bahan
pencemar yang dapat berupa bahan kimia seperti deterjen, tinja, limbah
industri, hara seperti fosfat dan nitrat, minyak, bakteri atau virus yang dapat
menyebabkan kualitas air tidak sesuai lagi dengan peruntukannya termasuk bagi
keperluan air minum, sehingga secara langsung ataupun tidak dapat mengganggu
kesehatan manusia.
Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya suatu sistem sanitasi yang baik
(banyak rumah tangga yang membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa memiliki
septik tank tersendiri) tampaknya juga menambah permasalahan pencemaran sumber
air. Banyak kota-kota walaupun sudah
memiliki persediaan air akan tetapi air tersebut masih harus dimasak hingga
mendidih lebih dahulu sebelum dapat diminum.
Tentunya hal-hal seperti tersebut cenderung akan menimbulkan
kerugian-kerugian sosial (social cost) yang cukup besar. Biaya ini dapat muncul dari timbulnya
penyakit atau terganggunya kesehatan masyarakat dan juga biaya energi yang
harus dikeluarkan untuk menghasilkan air minum.
Masih banyaknya anggapan masyarakat, bahkan sebagian
besar, yang memandang air adalah merupakan barang yang gratis (seperti udara
misalnya) dan juga menganggap bahwa badan-badan sungai (air permukaan)
merupakan tempat pembuangan sampah yang bebas cenderung lebih memperparah kuantitas
dan kualitas air itu sendiri. Sumber air
tanah juga masih dianggap sebagai barang bebas sehingga seringkali eksploitasi
air tanah menjadi tidak terkendali.
Tidak adanya afternatif lain untuk memperoleh air yang relatif sehat
menyebabkan sebagian masyarakat terpaksa melakukan hal tersebut. Di sisi lain, karena air sudah menjadi barang
yang relatif langka maka masyarakat di beberapa wilayah di perkotaan juga
cenderung untuk terpaksa membeli air untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan
bahkan untuk sebagian masyarakat lain lebih rela untuk mengeluarkan biaya untuk
dapat membeli air yang dipandang relatif sehat seperti air kemasan dalam
botol. Hal ini merupakan fenomena di
mana pada beberapa lima tahun terakhir ini permintaan akan air dalam kemasan
tersebut terus meningkat dengan tajam. Jelaslah bahwa permasalahan air
khususnya di perkotaan telah menjadi masalah bagi seluruh masyarakat baik
penduduk golongan miskin maupun kaya.
Diperkirakan selama Abad 21 bila tidak dilakukan
terobosan-terobosan dalam masalah pengelolaan sumberdaya air yang mampu
mempengaruhi baik pola produksi maupun konsumsinya secara tepat, maka seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, Jawa Timur dapat mengalami defisit air yang
cukup parah jika kondisi seperti saat ini
masih terus berlangsung tidak dapat dibayangkan berapa harga yang harus
dikeluarkan untuk mendapatkan seteguk air minum di masa-masa mendatang.
2.3.2. Tujuan
1.
Mengembangkan kebijakan publik
yang didukung oleh teknologi yang handal dalam mengkonservasi air hujan yang jatuh
di wilayah Jawa Timur.
2.
Mengembangkan pola produksi
dan konsumsi air bersih yang meminimumkan tekanan terhadap lingkungan hidup
dengan tetap memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar bagi manusia terutama
golongan miskin
3.
Mendukung terjaminnya
ketersediaan air yang cukup dan merata bagi kelangsungan kehidupan manusia dan
keberlanjutan pembangunannya di seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti dicerminkan oleh ketersediaan air
baku yang CUKUP bagi setiap penduduk dan kualitas yang aman bagi kesehatan
masyarakat.
4.
Mewujudkan sistem alokasi air
secara efisien, efektif serta adil baik antar sektor, di dalam tiap-tiap
sektor, maupun antar wilayah sehingga meningkatkan produktivitas pemanfaatan
sumberdaya air.
5.
Meningkatkan penyebarluasan
informasi budaya hemat air dalam upaya terpeliharanya kelestarian sumberdaya
air dan meningkatnya kualitas hidup masyarakat.
2.3.3. Rencana Strategis
1. Mendorong peningkatan peranserta seluruh masyarakat luas dalam
pemanfaatan sumberdaya air yang hemat dan efisien. Hal ini bisa dilakukan dengan mengembangkan
persepsi sumberdaya air sebagai barang
ekonomi yang mempunyai nilai sangat tinggi bagi keberlanjutan kehidupan.
2. Menciptakan iklim investasi yang menarik dan
mengembangkan instrumen insentif dan disinsentif bagi masyarakat luas sehingga
mau berperanserta secara aktif dalam pengembangan sumberdaya air yang lestari
dan berkelanjutan.
3. Mendorong pola produksi dan konsumsi
sumberdaya air yang mempertimbangkan faktor kelestarian dan
keberlanjutannya. Secara intensif terus
mengembangkan kebijakan diskriminasi harga bagi penggunaan sumberdaya air guna
menjaga keberlanjutannya dengan tetap berorientasi dan pemihakan pada
kepentingan masyarakat luas.
2.3.4. Tahapan Kegiatan
Periode
2002-2010
1. Meningkatkan pendayagunaan lembaga pengelola dan pengguna
air, meningkatkan peran koperasi di perdesaan/KUD dalam pengelolaan sumberdaya
air yang berkelanjutan serta pengembangan kualitas sumberdaya manusia dalam
upaya penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya
air.
2. Mendorong pengembangan penataan dan manajemen seluruh
pengelola sumberdaya air secara terpadu dan terkoordinasi yang melibatkan
seluruh sektor terkait, masyarakat dan dunia usaha.
3.
Mengembangkan peraturan
perundang-undangan, kebijakan pengendalian pengelolaan sumberdaya air melalui
pendekatan ekonomi dan mekanisme pasar antara lain dengan mengembangkan konsep
"polluter pays principle" yaitu
dengan menginternalisasikan nilai ekonomi air dalam seluruh aktifitas
masyarakat baik industri maupun domestik (rumah tangga). Penerapan kebijakan tentang harga air (full -lost pricing) yang di tetapkan
secara benar sehingga perilaku pemborosan dapat dikendalikan dengan tetap
memperhatikan kemampuan masyarakat golongan berpenghasilan rendah. Serta penerapan analisis biaya dan manfaat
sosial (social cost benefit analysis) untuk
berbagai kegiatan yang mengarah kepada konservasi air dan penyediaan air guna
kepentingan masyarakat umum.
4.
Mendorong peningkatan peran
aktif seluruh masyarakat luas dalam menumbuh-kembangkan perilaku dan sikap
hemat air
5.
Mendorong peningkatan
upaya-upaya pengelolaan dan pemanfaatan air hujan oleh pemerintah, suasta dan
seluruh masyarakat luas semaksimal mungkin.
6.
Periode 2010-2020
1. Pemantapan
pengembangan dan pendayagunaan lembaga-lembaga pengelola sumberdaya air secara
lebih intensif. Berkembangnya kerjasama
terpadu antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam bersikap hemat produksi
dan konsumsi sumberdaya air serta semakin tumbuh dan berkembangnya budaya hemat
air melalui peningkatan pelatihan-pelatihan, pendidikan dan kampanye yang terus
menerus.
2. Mengembangkan dan memasukkan instrumen label
ramah lingkungan pada produk-produk industri secara keseluruhan yang dalam
pengelolaan dan proses produksinya memanfaatkan sumberdaya air.
3. Memantapkan berbagai instrumen kebijakan yang
telah dilakukan dalam periode sebelumnya dengan mendorong berkembangnya
persepsi nilai ekonomis dan hemat sumberdaya air.
4.
Melanjutkan dan meningkatkan
kerjasama yang lebih baik dan mantap dengan organisasi-organisasi internasional
yang relevan, negara-negara maju, swasta dan organisasi kemasyarakatan dalam
mempertahankan dan memantapkan pola produksi dan konsumsf sumberdaya air yang
berkelanjutan di tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional.
5.
Mendorong kebijakan penggunaan
teknologi pengelolaan sumberdaya air yang ramah lingkungan dengan
mempertimbangkan kondisi dan wilayah setempat.
Terus meningkatkan fungsi dan peran lembaga-lembaga independen yang menilai,
mengawasi dan mengevaluasi produk-produk ramah lingkungan secara mandiri.
6. Mendukung penelitian dan pengembangan
langkah-langkah strategi penggunaan teknologi pengelolaan sumberdaya air yang
tepat guna dan ramah lingkungan baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimah Kasih atas Kunjungan Anda...